You must have JavaScript enabled in order to use this theme. Please enable JavaScript and then reload this page in order to continue.
Loading...
Logo Nagari Mungka
Mungka

Kec. Mungka, Kab. LIMA PULUH KOTA, Provinsi SUMATERA BARAT

SELAMAT DATANG DI WEBSITE RESMI NAGARI MUNGKA KECAMATAN MUNGKA KABUPATEN LIMA PULUH KOTA PROVINSI SUMATERA BARAT DENGAN VISI MUNGKA MAJU TERUS ( MANDIRI, SEJAHTERA DAN RELIGIUS )

MENGUNGKAP ASAL-USUL NAGARI MUNGKA: MAHASISWA UNAND GALI SEJARAH LEWAT WAWANCARA TOKOH ADAT

Administrator 29 Juli 2025 Dibaca 50 Kali
MENGUNGKAP ASAL-USUL NAGARI MUNGKA: MAHASISWA UNAND GALI SEJARAH LEWAT WAWANCARA TOKOH ADAT

Nagari Mungka, Limapuluh Kota — Upaya pelestarian sejarah lokal kembali digaungkan oleh mahasiswa Universitas Andalas (Unand) melalui kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Salah satu program yang dilakukan di Nagari Mungka adalah wawancara mendalam bersama dua tokoh adat setempat, Datuak Angkat Dirajo dan Datuak Patiah, yang membuka tabir sejarah panjang nagari  Mungka dari masa awal terbentuk hingga dinamika modern saat ini.

Melalui dialog hangat dan penuh makna, mahasiswa berhasil merekam berbagai cerita penting, mulai dari asal-usul nama “Mungka”, peran tokoh adat dalam pembangunan nagari, hingga tantangan yang dihadapi masyarakat di era penjajahan dan globalisasi. Kegiatan ini menjadi salah satu bentuk nyata pelibatan generasi muda dalam menjaga warisan budaya Minangkabau.

“Nagari Mungka asalnya dari rombongan urang tuo dari Pariangan, Luhak nan Tuo,” ungkap Datuak Angkat Dirajo, yang kini berusia 75 tahun dan menjabat sebagai sekretaris Kerapatan Adat Nagari (KAN) Mungka.

Menurut Datuak, pemukiman pertama dimulai dari sebuah taratak kecil yang kemudian tumbuh menjadi koto dan akhirnya menjadi nagari. Tokoh penting seperti Dt. Siri Maharajo, Rajo Gadui, dan Siti Jamilah disebut sebagai pelopor pembentukan wilayah dan sistem adat yang masih dihormati hingga kini.

Nama “Mungka” Lahir dari Gotong Royong

Salah satu bagian paling menarik dalam wawancara adalah asal-usul nama “Mungka”. Berdasarkan cerita yang diwariskan turun-temurun, nama ini berasal dari kata “ma ungkar” yang berarti membongkar atau mengangkat tiga batang kayu besar saat masyarakat ingin mendirikan rumah gadang di tengah lapangan.

“Karena sering disebut, lidah urang kampung berubah jadi ‘Mungka’. Dan dari gotong royong itulah lahir nama nagari ini,” ujar Datuak dengan senyum.

Semangat kolektif yang melatarbelakangi lahirnya nama “Mungka” ini masih menjadi fondasi kehidupan masyarakat sampai saat ini. Sebelum batas wilayah diatur secara administratif oleh pemerintah, masyarakat Nagari Mungka telah lebih dulu menggunakan tanda-tanda alam sebagai penanda wilayah, seperti sungai, bukit, dan pohon-pohon besar. Kesepakatan tersebut dilakukan secara adat oleh para niniak mamak dan masih dihormati hingga hari ini, meski kini telah berpadu dengan batas resmi dari pemerintah sejak tahun 2001 saat Kecamatan Mungka terbentuk.

Selain itu, sistem pemerintahan nagari awal juga berbeda dengan sekarang. Tidak ada jabatan wali nagari, melainkan dipimpin oleh Tungku Tigo Sajarangan Niniak Mamak, Alim Ulama, dan Cadiak Pandai yang bermusyawarah di Balairung Sari.

“Dulu semua urusan nagari diputuskan bersama. Tidak ada keputusan sepihak. Musyawarah itu ruh nagari kita,” jelas Datuak.

Nagari Mungka juga masih mempertahankan sistem suku dan kampuang. Terdapat suku-suku besar seperti Caniago, Piliang, Melayu, dan Mandailiang. Setiap suku menempati wilayah tersendiri dan dipimpin oleh datuak masing-masing. Tradisi seperti batagak gala, manyabik kain, baralek gadang, hingga nasi bajamba masih lestari. Nilai adat tetap melekat kuat meski perubahan zaman terus berjalan.

“Rumah gadang masih berdiri, malam bainai masih ada. Kami bangga karena anak nagari masih kembali ke akar budayanya,” ucap Datuak Patiah, yang kini berusia 51 tahun.

Dalam sejarahnya, Nagari Mungka tidak lepas dari tekanan penjajahan. Banyak anak nagari yang bergabung dengan gerakan Paderi dan pasukan gerilya melawan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang, penderitaan semakin berat karena rakyat dipaksa kerja rodi dan hidup dalam ketakutan. Namun, salah satu tantangan terbesar menurut Datuak justru datang di masa kini: melunturnya nilai adat di kalangan generasi muda. “Banyak yang tidak tahu asal-usulnya lagi. Sibuk dengan teknologi tapi lupa budaya. Ini PR besar bagi kita semua,” ujarnya tegas.

Pendidikan dan Infrastruktur Semakin Maju

Dibandingkan masa lalu, perkembangan pendidikan di Mungka mengalami lonjakan besar. Dulu anak-anak hanya belajar di surau dan madrasah. Kini, banyak yang menamatkan kuliah bahkan sampai luar negeri. Infrastruktur pun berkembang, mulai dari jalan beraspal, jaringan listrik, hingga akses telekomunikasi yang menjangkau jorong-jorong.

Ekonomi masyarakat juga bergeser. Jika dulu bergantung pada sawah dan ladang, kini banyak yang merintis UMKM, berdagang, hingga merantau untuk kemudian membawa perubahan saat pulang kampung.

Menutup sesi wawancara, Datuak menyampaikan pesan yang menggugah hati. Menurutnya, menjaga sejarah dan adat bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi harus diwariskan dan dijaga oleh generasi muda. “Walaupun sudah jadi sarjana, merantau ke kota, jangan malu mengatakan bahwa kalian anak Nagari Mungka. Jati diri urang Minang itu ada di adat dan sejarahnya,” pesannya.

Beliau juga mendorong agar semangat gotong royong yang telah melahirkan nama “Mungka” tetap dijaga. Dalam pandangannya, nagari yang kuat adalah nagari yang dibangun oleh anak cucunya sendiri dengan ilmu dan budi pekerti.

Melalui kegiatan ini, mahasiswa KKN Unand tidak hanya mencatat sejarah, tapi juga menyerap nilai-nilai yang menjadi fondasi Minangkabau: musyawarah, kekerabatan, dan penghormatan pada leluhur. Kegiatan wawancara ini menjadi salah satu langkah penting dalam merawat identitas lokal di tengah gempuran modernitas global.

Beri Komentar
Komentar baru terbit setelah disetujui oleh admin
CAPTCHA Image

APBN 2025 Pelaksanaan

APBN 2025 Pendapatan

APBN 2025 Pembelanjaan